You are browsing with label:
Tampilkan postingan dengan label LIMA MENIT SAJA. Tampilkan semua postingan
LIMA MENIT SAJA
Salah
satu kelemahan umat islam adalah karena pelaksanaan ibadah yang
sekedar menjadi rutinitas simbolik. Ibadah dipandang hanya sebagai
kewajiban dan bukannya kebutuhan sehingga bila tidak dilaksanakannya si
pelanggar akan mendapatkan punishment berupa dosa. Esensi ibadah juga
tidak dapat ditangkap apalagi dapat di aplikasikan kedalam kehidupan
sehari-hari. Akhirnya ibadah hanya menjadi ritus yang selesai begitu
sudah dilaksanakan, begitulah kira-kira kritik yang dihembuskan oleh
Abdul Munir Mulkan.
Sholat tidak ditangkap sebagai kontrol terhadap kesalahan dan dosa yang dilakukan oleh panca indera serta seluruh anggota tubuh. Akibatnya fenomena STMJ ( Sholat terus maksiat jalan ) merupakan kejadian biasa dalam kehidupan sehari-hari. Banyak pejabat yang taat melaksanakan sholat tetapi tidak sedikit diantara mereka yang tidak sungkan melakukan korupsi. Setiap hari jumat masjid selalu penuk oleh sesaknya umat islam. Tetapi berbagai tindakan kejahatan juga tidak pernah surut bahkan cenderung meningkat. Yang lebih ironi adalah karena pelakunya juga sebagian besar adalah yang mengaku beragama Islam.
Pun begitu juga dengan perintah pelaksanaan jilbab. Kewajiban ini sejatinya bertujuan sebagai hijab guna menutupi dan melindungi aurat kaum muslimat Akan tetapi pada akhirnya berubah menjadi mode semata. Secara kuantitas kaum muslimat yang mengenakan jilbab semakin meningkat. Hal ini bisa dibuktikan dengan semakin banyaknya para pelajar dan mahasiswi di kampus-kampus yang memamakai Jilbab. Tetapi yang patut disayangkan gerakan jilbabisasi tersebut kehilangan esensinya. Banyak para pemudi islam yang menutupi kepala dan telinganya dengan kerudung tetapi sangat suka memakai baju-baju ketat sehingga lekuk-lekuk tubuhnya secara kasat mata menjadi kelihatan.
Secara akal, sebenarnya yang merangsang lawan jenis tentunya bukanlah kepala, rambut maupun telinganya yang ditutupi, akan tetapi justru penampakan tonjolan dan lekukan tubuh. Jilbabisasi yang salah kaprah tersebut tentunya tidak bisa menjawab segala problem sossial. Budaya free seks, kehamilan diluar nikah, pemerkosaan, pelecahan social yang korbannya tidak sedikit memakai jilbab yang salah kaprah adalah bukti kongkret dari kealpaan kita dalam menangkap esensi dari suatau ibadah.
Bukan hanya itu, jilbabisasi tidak lebih dari sebagai komoditas industri yang hanya menguntung para pemilik kapital, juragan mode dan orang-orang berduit yang telah melahirkan mode-mode jilbab. Suburnya toko maupun butik yang meyediakan pakaian muslimat bukanlah suatu hal yang patut dibanggagakan. Berkembangnya sektor tersebut hanya menempatkan umat islam (pemudi Islam umumnya) sebagai obyek penghasil profit bagi para pebisnis kakap yang berkecimpung didalamnya.
Untuk itulah sudah saatnya kita menyadari kealpaan kita. Pemurnian kembali jilbabisasi merupak hal yang amat penting bukan saja semata-mata untuk melaksanakan tuntutan agama, tetapi lebih jauh dari itu supaya dapat mengatasi berbagai persolan sosial. Jilbab hendaknya jangan sekedar dipandang mode dan style apalagi hanya karena tuntutan sekolah, keluarga, lingkungan maupun agama. Akan tetapi pandanglah sebagai kebutuhan yang dapat memberikan perlindungan terhadap si pemakai itu sendiri. Dan satu hal yang tidak kalah pentingnya, memakai jilbab juga tidak hanya selesai menutup kepala, melindungi tonjolan dan lekukan agar tidak kelihatan oleh orang yang bukan muhrim juga merupakan elemen penting yang tidak boleh ditinggalkan. Syukur-syukur pemakaian jilbab juga dibarengi dengan menutupi (Menjaga) perilaku dan sikap kita yang tidak patut dilakukan selayaknya seorang muslimah. Bukankah Demikan !
Penulis: Fayumi Umamah-Penulis adalah Civitas akademika Universitas Muhammadiyah Malang [gulbarian_ahmad@yahoo.com ]
sumber : alhikmah.com
Sholat tidak ditangkap sebagai kontrol terhadap kesalahan dan dosa yang dilakukan oleh panca indera serta seluruh anggota tubuh. Akibatnya fenomena STMJ ( Sholat terus maksiat jalan ) merupakan kejadian biasa dalam kehidupan sehari-hari. Banyak pejabat yang taat melaksanakan sholat tetapi tidak sedikit diantara mereka yang tidak sungkan melakukan korupsi. Setiap hari jumat masjid selalu penuk oleh sesaknya umat islam. Tetapi berbagai tindakan kejahatan juga tidak pernah surut bahkan cenderung meningkat. Yang lebih ironi adalah karena pelakunya juga sebagian besar adalah yang mengaku beragama Islam.
Pun begitu juga dengan perintah pelaksanaan jilbab. Kewajiban ini sejatinya bertujuan sebagai hijab guna menutupi dan melindungi aurat kaum muslimat Akan tetapi pada akhirnya berubah menjadi mode semata. Secara kuantitas kaum muslimat yang mengenakan jilbab semakin meningkat. Hal ini bisa dibuktikan dengan semakin banyaknya para pelajar dan mahasiswi di kampus-kampus yang memamakai Jilbab. Tetapi yang patut disayangkan gerakan jilbabisasi tersebut kehilangan esensinya. Banyak para pemudi islam yang menutupi kepala dan telinganya dengan kerudung tetapi sangat suka memakai baju-baju ketat sehingga lekuk-lekuk tubuhnya secara kasat mata menjadi kelihatan.
Secara akal, sebenarnya yang merangsang lawan jenis tentunya bukanlah kepala, rambut maupun telinganya yang ditutupi, akan tetapi justru penampakan tonjolan dan lekukan tubuh. Jilbabisasi yang salah kaprah tersebut tentunya tidak bisa menjawab segala problem sossial. Budaya free seks, kehamilan diluar nikah, pemerkosaan, pelecahan social yang korbannya tidak sedikit memakai jilbab yang salah kaprah adalah bukti kongkret dari kealpaan kita dalam menangkap esensi dari suatau ibadah.
Bukan hanya itu, jilbabisasi tidak lebih dari sebagai komoditas industri yang hanya menguntung para pemilik kapital, juragan mode dan orang-orang berduit yang telah melahirkan mode-mode jilbab. Suburnya toko maupun butik yang meyediakan pakaian muslimat bukanlah suatu hal yang patut dibanggagakan. Berkembangnya sektor tersebut hanya menempatkan umat islam (pemudi Islam umumnya) sebagai obyek penghasil profit bagi para pebisnis kakap yang berkecimpung didalamnya.
Untuk itulah sudah saatnya kita menyadari kealpaan kita. Pemurnian kembali jilbabisasi merupak hal yang amat penting bukan saja semata-mata untuk melaksanakan tuntutan agama, tetapi lebih jauh dari itu supaya dapat mengatasi berbagai persolan sosial. Jilbab hendaknya jangan sekedar dipandang mode dan style apalagi hanya karena tuntutan sekolah, keluarga, lingkungan maupun agama. Akan tetapi pandanglah sebagai kebutuhan yang dapat memberikan perlindungan terhadap si pemakai itu sendiri. Dan satu hal yang tidak kalah pentingnya, memakai jilbab juga tidak hanya selesai menutup kepala, melindungi tonjolan dan lekukan agar tidak kelihatan oleh orang yang bukan muhrim juga merupakan elemen penting yang tidak boleh ditinggalkan. Syukur-syukur pemakaian jilbab juga dibarengi dengan menutupi (Menjaga) perilaku dan sikap kita yang tidak patut dilakukan selayaknya seorang muslimah. Bukankah Demikan !
Penulis: Fayumi Umamah-Penulis adalah Civitas akademika Universitas Muhammadiyah Malang [gulbarian_ahmad@yahoo.com ]
sumber : alhikmah.com
LIMA MENIT SAJA
Abul Hayyan Al-Alusy –sebagaimana dikutip Muhammad Abduh-- berpendapat bahwa al-Kautsaradalah keturunan Nabi Muhammad SAW. Pandangan ini didasarkan pada latar belakang turunnya ayat dan bahwa yang dimaksud dengan keturunannya adalah anak-cucu Fathimah binti Muhammad. Ada beberapa alasan yang dikemukakan untuk menguatkan pendapat ini. Pertama, ia sejalan dengan konteks asbabun nuzulnya. Kedua, digunakannya kata abtar yang berarti “orang-orang yang terputus keturunannya”. Walaupun semua putra (laki-laki) Rasul meninggal sejak kecil, tidak menyebabkan putusnya keturunan Rasul, sebab masih ada putri baliau, yakni Fathimah yang kemudian melanjutkan ‘dinasti’nya. Ketiga,dipakainya kata wanhar (dan sembelihlah qurban). Dalam konteks kelahiran anak, maka penyembelihan tersebut sebagai aqiqah.
Dan banyak lagi pendapat-pendapat ulama mengenai maksud al-Kautsar yang tidak mungkin kami sebutkan semuanya dalam tulisan singkat ini. Betapapun banyaknya pendapat tentang hal ini (al-Kautsar) –bahkan termasuk yang diungkapkan oleh Al-Qurthubi yang tidak kurang dari 15 pendapat— penulis lebih cenderung menilainya bisa jadi semuanya benar. Sungai di surga, kenabian, keturunan yang banyak pengikut, syafa’at dan lainnya adalah sebagian segi yang bisa tercakup dalam kata al-Kautsar. Sebab, al-Kautsarsendiri memang berarti ‘sangat banyak dan melimpah’ yang bisa dipahami dari segi jenisnya maupun kuantitasnya. Jika dipahami bahwa al-Kautsar adalah sungai di surga, ini sesuai dengan hadits yang telah saya jelaskan di bagian pertama. Jika al-kautsar dipahami sebagai syafa’at, kenabian, sifat itsar, dan lain-lain saya fikir ini juga termasuk dalam al-kautsar jika yang dimaksud adalah kebaikan yang sangat banyak.
Oleh karena anugerah yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad sangat banyak, maka tidak heran jika ayat pertama ini kemudian dilanjutkan dengan ayat berikutnya, yang memerintahkan agar beliau menyukurinya. Bentuk syukur yang dimaksud adalah dengan melaksanakan shalat hanya untuk Allah dan menyembelih qurban sebagai kepedulian atas sesama.
Fashalli Lirabbika Wanhar (“Maka shalatlah untuk tuhanmu dan sembelihlah (hewan kurban”). Perintah shalat yang dipahami dari kata fasholli (maka shalatlah), menurut Ibnu Katsir, berarti shalat fardlu dan shalat sunnah, sebagaimana dalam ungkapannya ketika menafsirkan ayat ini. “Maka Ikhlaskanlah untuk tuhanmu shalatmu yang fardlu dan yang sunnah. Beribadahlah hanya untuk Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dan sembelihlah hewan kurban atas nama-Nya semata dan tidak mempersekutukan-Nya.”
Sedangkan menurut Muhammad Abduh, yang dimaksud perintah shalat di sini adalah semua bentuk ibadah (hendaknya dilakukan dengan ikhlas karena Allah). Beliau tidak memahaminya sebagai perintah khusus shalat wajib maupun sunnah, sebab perintah shalat dalam arti sebenarnya –gerakan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam– di dalam al-Qur’an selalu terangkai dengan kata aqim (tegakkanlah) atau bentuk lain yang seakar dengannya. Ulama lain berpendapat bahwa perintah shalat yang dimaksud adalah shalat ‘Idul Adlha, sedangkan perintah berkurban yang dimaksud adalah menyembelih hewan kurban setelah melaksanakan shalat ‘Idul Adha. Pendapat ini disandarkan pada sebuah riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Sa’id bin Jubair (Tafsir Wa Bayan, 546).
Ada pula pendapat yang mengartikan ‘shalatlah’ dengan pengertian ‘berdo’alah hanya untuk Allah’. Hal ini didasarkan pada aspek lughowi di mana shalat secara bahasa adalah do’a. Betapapun banyak ragam pandangan tentang maksud kata fashalli (maka shalatlah) ini, bisa jadi semua pendapat di atas adalah benar. Shalat bisa dipahami sebagai do’a (aspek bahasa), shalat fardlu dan sunnah, shalat ‘Idul Adha, maupun dalam arti semua ibadah apapun, bukan cuma shalat (ritual) saja. Artinya, pengabdian kita seluruhnya harus ditujukan hanya untuk Allah SWt semata.
Kemudian, kata wanhar (dan sembelihlah hewan kurban), huruf waw-nya adalah kata sambung. Penulis tidak menemukan kata nahara maupun bentuk lain yang seakar kata dengannya kecuali dalam surah dan ayat ini saja. Secara bahasa naharaberarti dzabaha yakni menyembelih. Ada juga kata benda nahrunyang berarti ‘penyembelihan’ dan berarti pula ‘bagian di atas dada’ (Kamus ‘Ashry, hal 1896) sehingga sebagian ulama menafsirkan bahwa kata ini berarti perintah untuk meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di (atas) dada ketika shalat. Ada pula pendapat bahwa kata ini berarti perintah menyembelih hewan kurban di waktu hari raya ‘Idul Adha maupun aqiqah. Pendapat inilah yang paling masyhur di kalangan ulama dan saya lebih cenderung mengikutinya.
Sebetulnya kata nahara dalam konteks penyembelihan hewan, dipakai untuk menyembelih unta dalam tradisi masyarakat arab. Sedangkan istilah untuk hewan lain menggunakan dzabaha. Ketika itu unta dinilai sebagai kekayaan yang sangat berharga. Ini artinya, secara umum ayat kedua ini dapat dipahami bahwa manifestasi dari syukur adalah menunjukkan keikhlasan hanya kepada Allah semata di dalam beribadah, tidak menyekutukan-Nya terhadap apapun dalam upaya mendekatkan diri kepada-Nya dan dalam menunjukkan kekhusyukan hati kepada-Nya. Di samping itu, dengan menunjukkan keikhlasan hanya kepada Allah di dalam mengorbankan sesuatu yang sangat berharga yang kita miliki sebab Dia pemelihara dan pelimpah segala kenikmatan. Begitulah Allah SWT menjelaskan anugerah yang amat banyak, yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW seraya memerintahkan kepadanya agar selalu bersyukur atas semua itu.
Satu lagi ayat (terakhir) sebagai sanggahan atas tuduhan kaum kafirin bahwa Nabi Muhammad SAW terputus keturunannya / kebaikannya. Inna Syaaniaka Huwal Abtar. (“Sesungguh-nya yang memusuhimu itulah yang terputus (keturunan/ kebaikan)”. Kata Abtar secara lughowi berarti terputus, tidak berbuntut. Kata ini dipakai untuk seseorang yang tidak meninggalkan kenangan yang berlanjut atau ‘sebutan baik’ bagi dirinya. Keadaan ini dimisalkan seperti binatang yang terputus buntutnya. Dalam kenyataannya, pembenci Nabi tidaklah membenci pribadi beliau, sebab beliau memiliki sifat yang agung, yang semua orang –kawan maupun lawan– menyukainya. Mereka membenci beliau hanya karena ajaran yang dibawanya.
Jelaslah, bahwasanya yang dimaksud abtardi sini bisa berarti terputus keturunan para pembenci Nabi, sebab mereka tidak melanjutkan misi yang diemban bapak-bapak mereka (seperti Al-Walid bin Mughiroh, Si pemaki Nabi, tetapi anaknya Khalid bin Walid tidak melanjutkan misi bapaknya, melainkan justru bergabung bersama Rasulullah). Bisa juga berarti terputus dari kebaikan. Maka apapun pengertian abtar, --baik terputus keturunan maupun kebaikan– kata ini bersifat umum dan oleh karena itu dapat menampung kedua pengertian tersebut.
Jadi, jika pada ayat pertama dipahami bahwa Nabi dianugerahi keturunan yang banyak, maka ayat ketiga berarti bahwa yang memaki nabi itulah yang bakal terputus keturunannya. Jika pada ayat pertama diartikan bahwa Nabi mendapatkan nikmat kebaikan yang banyak, maka sesungguhnya si pemaki Nabi itu pada hakikatnya terputus dari nikmat kebaikan. Kalau Al-kautsar dipahami sebagai telaga di surga, maka pemaki Nabi tidak akan mendapatkan / meminum air dari telaga di surga nanti.
Surah al-Kautsar ini dalam asbabun-nuzulnya turun dengan khitab kepada nabi Muhammad SAW. Tetapi bukan berarti hanya berlaku untuk beliau saja, melainkan juga bagi semua ummatnya termasuk kita semua sesuai dengan qa’idah fiqh yang mengatakan: “Pengertian yang diambil (dari suatu dalil) adalah berdasarkan keumumman lafadznya bukan berdasarkan khususnya sebab”.
Ibrah
Dari penjelasan sebelumnya maka bisa kita ambil pelajaran di antaranya sbb:
1. Sifat orang kafir
Sudah menjadi sifat orang kafir yaitu membenci, memusuhi dan meremehkan orang yang beriman. Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas (QS 2:212).
2. Ujian bagi orang mu’min
Orang yang beriman dan konsisten dalam menegakkan dakwah islamiyah pasti akan mendapatkan ujian berupa kebencian –bahkan caci maki hingga penindasan fisik– oleh orang-orang kafir di mana mereka bukan membenci pribadinya akan tetapi terhadap ajaran yang dibawa. Oleh karena itu bagi siapa pun yang berkecimpung dalam bidang dakwah, sejak dini harus menyadari akan hal ini.
3. Sabar, percaya diri dan optimis
Terhadap ujian di atas –termasuk berupa kenyataan pahit sebagaimana dialami para sahabat di awal-awal masuk Islam--, harus disikapi dengan penuh sabar, percaya diri dan optimis dengan syarat beriman kepada Allah dan konsisten dalam menegakkan dakwah, karena sesungguhnya Allah SWT yang akan melindunginya.
4. Syukur
Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan kenikmatan yang amat banyak dan melimpah kepada orang yang beriman berupa hidayah iman & islam, syafaat, kesehatan, keberadaan materi, dsb. Dan kelak, surgalah tempat tinggalnya. Oleh karenanya semua itu harus disyukuri.
5. Manifestasi Syukur
Manifestasi syukur atas ni’mat Allah adalah dengan melaksanakan:
· Hablun minallah: Ibadah kepada Allah SWT serta tidak menyekutukannya dengan apapun dalam sesembahan maupun dalam motivasi (baca: niat).
· Hablun minannas: Kasih sayang dan peduli terhadap sesama manusia dengan mengorbankan sesuatu yang sangat berharga yang kita miliki. Oleh karena ibadah sosial ini berhubungan langsung dengan sesama manusia, maka ibadah pada sektor ini rawan terhadap kemungkinan ingin dipuji manusia atau riya’. Oleh karena itu pengorbanannya harus dilakukan dengan motivasi yang benar yakni ikhlas semata hanya karena Allah karena memang hakikat pengorbanan yang kita lakukan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Intinya, adalah dengan mengikhlashkan niat semata hanya untuk Allah –tidak menyekutukannya dengan yang yang lain dalam sesembahan maupun dalam niat– ketika kita melaksanakan ibadah yang bersifat ritual maupun sosial.
6. Hakikat yang terputus
Yakinlah bahwa sesungguhnya mereka yang membenci orang-orang yang beriman, itulah yang terputus (dari kebaikan).
Penutup
Demikianlah di antara ibroh yang bisa kita ambil dari kandungan surah al-Kautsar. Insya Alloh masih banyak rahasia yang belum terungkap dari kandungan surah ini. Namun inilah yang bisa kami sampaikan sebatas kemampuan kami. Adanya kekeliruan dalam uraian ini, penulis mohon maaf kepada para pembaca dan semoga Alloh SWT memberikan ampunan-Nya (mus).
Wallahu a’lam.
MARAJI’:
- Ibnu Katsir, Tafsir Qur’an Jilid IV.
- Imam Jalaluddin, Tafsir Jalalain.
- Muhammad Abduh, Tafsir Qur’an Juz 30.
- TM Hasby Assiddieqy, Tafsir Albayan Jilid II.
- M. Hasan Al-Humshi, Tafsir Wa Bayan.
- Attabik Ali, Zuhdi Muhdlar, Kamus ‘Ashry.
- Alqur’anul Karim & Terjemahan-nya.
Penulis: Mustofa
sumber : alhikmah.com
LIMA MENIT SAJA
Penulis: Mustofa
Sesungguhnya Kami telah memberimu al-Kautsar. Maka sholatlah untuk Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang yang membencimu itulah yang terputus (QS. 108 :1-3).
Mukaddimah
alhikmah.com - Salah satu surah yang sering disampaikan khatib dalam momen i’edul adlha adalah surah al-Kautsar, tepatnya pada ayat ketiga. Kali ini penulis mencoba untuk mengupas kedalaman kandungannya. Semoga kita mendapatkan ibroh dari penjelasannya, amien.
Surah al-Kautsar -- dalam mushaf-- ditempatkan pada urutan ke-108 setelah surah al-Ma’un. Surah ini merupakan surah terpendek dalam al-Qur’an. Terdapat keserasian yang sangat indah antara dua surah ini. Keduanya memiliki pola hubungan inversi. Pada surah al-Ma’un dijelaskan tentang orang munafiq, si pendusta agama dengan tiga sifat yang menonjol; yakni kikir dan menghalangi bantuan, melalaikan sholat dan riya’,. Sedangkan dalam surah yang dibahas ini, dibicarakan tentang perintah untuk melaksanakan sholat yang ditunjukan oleh kata fasholli (maka sholatlah) sebagai lawan dari melalaikan sholat dalam surah al-Maun. Disusul dengan perintah melaksanakanya secara ikhlas karena Allah yang difahami dari kata lirobbika (untuk tuhanmu) sebagai lawan dari sifat riya’ dalam surah al-Maun. Kemudian anjuran untuk loyal terhadap sesama dan suka memberikan bantuan yang ditunjukan oleh kata wanhar (dan sembelih kurban) –sebagai lawan dari sifat kikir dan suka menghalangi bantuan dalam surah sebelumnya.
Asbabun Nuzul, sebuah pelajaran berharga
Terdapat beberapa riwayat hadits yang menerangkan latar belakang turunnya ayat dalam surah al-Kautsar. Diceritakan oleh Ibnu Abi Hakim yang bersumber dari As-Suddi bahwa kaum Quraisy menganggap kematian anak laki-laki berarti putus keturunannya. Ketika putra Rasulullah (menurut riwayat al-Baihaqi, putra Rasullah dimaksud adalah Qasim) meninggal dunia, orang-orang quraisy tersebut (antara lain Al-Walid bin Mughiroh, ‘Ashi bin Wail, Abu Jahl) berkata bahwa Muhammad telah terputus keturunnanya. Yakni tidak ada lagi sebutan tentangnya melalui putra-putranya setelah wafat kelak. Keadaan seperti ini mereka anggap sebagai cacat dan cela yang selalu mereka gunjingkan dan dijadikan alat untuk tidak simpati kepada beliau dari para pengikutnya.
Sedikitnya jumlah kaum muslimin, mereka anggap sebagai bukti bahwa ajaran yang dibawakan Rasul adalah sesat karena sekiranya ajarannya benar, maka pastilah orang-orang akan berbondong-bondong mengikutinya hingga jumlah pengikutnya pasti banyak tidak sedikit seperti waktu itu. Parahnya penderitaan kaum muslimin, mereka saksikan sebagai kekalahannya. Memang, baik dari segi jumlah maupun kekayaan materi, kaum muslimin kalah jauh dibandingkan orang-orang kafir Quraisy ketika itu. Ditambah lagi dengan ejekan dan cemoohan yang dilontarkan orang-orang kafir tersebut, semakin --secara psikologis-- membuat mereka sedih dan hilang rasa percaya diri. Dalam suasana seperti itulah Allah SWT membangkitkan semangat Nabi dan pengikutnya seraya menegaskan bahwa sesungguhnya yang dianggap remeh oleh orang-orang kafir Quraisy adalah sesuatu yang agung dan berharga mahal di sisi Allah. Dia membantah anggapan negatif kaum kafirin dan menegaskan bahwa Rasul dan pengikutnya akan mendapatkan kemenangan. Sesunggunya yang terputus bukanlah Muhammad, melainkan mereka sendiri. Orang-orang kafir yang telah mencemooh itulah, orang-orang yang putus. Untuk itu, Allah berfirman: 'Sesungguhnya Kami telah memberimu 'al-Kautsar'. Maka sholatlah untuk Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang yang membenci ialah yang terputus' (QS. 108:1-3)
Tinjauan Bahasa dan Beberapa Pandangan Ahli Tafsir
Kata innadalam bahasa arab dipakai sebagai pernguat suatu pernyataan yang hendak disampaikan merupakan sesuatu yang bersifat penting. Sedangkan sebagai pengguna subyek kami (nahnu) sehingga menjadi innaa, dalam kaidah bahasa arab berfungsi sebagai litta’dzim (untuk mengagungkan), artinya Alloh SWT bermaksud mengagungkan |diri-Nya dengan penggunaan kata ganti ini, wallohu a'lam. Dr. Quraish Shihab dalam beberapa kesempatan menyampaikan bahwa penggunaan kata kami untuk Allah dalam al-Qur’an menunjukan adanya keterlibatan pihak luar yang selaras dengan ketentuan sunnahtullah. Ini berarti bahwasannya Allah SWT, dalam memberikan sesuatu yang banyak 'al-Kautsar', tidak secara langsung Allah sendiri yang menyampaikan, melainkan melalui perantara-perantara atau asbab kauniah yang ada.
Penggunaan kata 'A’tha selain dalam surah ini, juga bisa ditemukan dalam al-Qur’an di surah lainnya, seperti QS 38: 39, QS. 53: 34, QS. 20: 50, QS. 92: 5, dan beberapa surah lainnya yang memuat kata yang seakar dengannya. Secara umum kata ini berarti 'memberi dengan sifat yang berkesinambungan'. Sedangkan kata 'ka' menunjukan seorang lawan bicara, yakni pribadi Nabi Muhammad SAW sebagai khitab dalam ayat tersebut.
Kautsar, kata inilah yang mendapat tanggapan paling banyak dan beragam diantara makna kata lain dalam surah ini. Secara bahasa, kata ini 'sangat banyak dan melimpah'. Kata ini merupakan kata ungkapan hiperbolik dari kata katsir yang berarti 'banyak' (kamus ‘Ashry’, hal 1525). Pengguna huruf al dalam al-Kautsar dalam kaidah bahasa arab dipakai untuk menunjukan ma’rifat atau khusus/ tertentu. Artinya, kata tersebut telah diketahui oleh pendengarnya dan segera dapat dipahami. Huruf al dalam bahasa arab sama fungsinya dengan kata 'the' dalam bahasa inggris.
Ulama-ulama tafsir mengemukakan sekian banyak pendapat mengenai al-Kautsar. Al-Qurthubi misalnya, tidak kurang dari 15 definisi yang dikemukakan, seperti mu’jizat, syafa’at, ummat yang banyak, shalat 5 waktu. Kenabian, kitab al-Qur’an dan lain-lain. Demikian sebagaimana ia ungkapkan beberapa pendapat adalah mereka yang mengartikan al-Kautsar. Pendapat yang sangat terkenal adalah mereka yang mengartikan al-Kautsar dengan 'sungai di surga'. Dalam kamus ‘Ashry, kata ini juga salah satunya bermakna demikian (ibid ). Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Katsir dalam karya besarnya Tafsir Qur’an (Tafsir Ibnu Katsir, IV/598-599). Selain itu juga didukung oleh Imam Jalaluddin dalam Tafsir Jalalainnya. Beliau melandaskan urainya dengan beberapa riwayat hadits, di antaranya : 'Suatu ketika Rasulullah istirahat (berbaring) dan kemudian bangun seraya tersenyum kepada para shahabat di sekelilingnya. Maka para shahabat pun bertanya : ‘Mengapa engkau tertawa (tersenyum riang) Yaa Rasulullah ? Rasul menjawab : ‘ sesungguhnya baru saja diturunkan kepadaku sebuah surah. Kemudian beliau membacakan ‘Bismillahirrahmanirrahiim Inna a’tahainaa kal kautsar… (sampai selesai) kemudian beliau bertanya : ‘Tahukah kalian apakah al-Kautsar?' mereka menjawab : ‘Allah dan RasulNya yang tahu.’ Rasulullah lalu menjelaskn : ‘Ia adalah sungai yang Allah anugerahkan kepadaku di surga, disana terdapat kebaikan yang banyak….’’’ (HR.Ahmad dan Muhammad bin Fadlil dari Mukhtar bin Falfal dari shahabat Anas bin Malik.
Pendapat kedua menyatakan bahwa al-Kautsar adalah an-Nubuwwah yaitu kenabian kepada Nabi Muhammad SAW. Ini dikemuka-kan oleh Ikrimah sebagaimana Muhammad Abduh lebih cenderung mengikuti pendapat kedua ini. Pendapat berikutnya, seperti Abu Bakr bin Ayyasy menyatakan al-Kautsar adalah pribadi-pribadi para shahabat serta pengikut Nabi hingga kiamat. Sedangkan menurut Ibnu Kisan, ia (al-Kautsar) adalah sifat Nabi yang selalu mendahulukan kepentingan orang lain atau (itsar).
bersambung ...
LIMA MENIT SAJA
Kegelisahan adalah abjad pertama dari alfabet perubahanTahun baru adalah momen yang tepat untuk melakukan perubahan, meski sebenarnya tidak perlu menunggu momen-momen khusus untuk melakukan perubahan. Seorang pemenang sejati memahami bahwa tidak ada yang dapat merubah keadaan dirinya kecuali dirinya sendiri. Ia memahami dengan benar ayat Al Quran :
Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum hingga kaum tersebut merubah dirinya sendiri(QS. Ar Rad : 11)
Asy Syahid Imam Hasan Al Banna mengibaratkan tahun baru yang ada di hadapan dengan sebuah buku tulis baru yang diberikan guru ketika kenaikan kelas. Sebuah buku tulis yang masih bersih, putih, dan belum ada sedikitpun coretan yang ada di dalamnya. Meski tahun baru yang dimaksud oleh Beliau adalah tahun baru Hijriah, tak ada salahnya jika kita analogikan tahun baru Masehi dengan sebuah buku baru.
Seorang siswa memperoleh sebuah buku baru dan diminta untuk menuliskan apa yang diperintah oleh gurunya. Begitu juga dengan kita, kita diminta untuk mengisi buku baru tersebut dengan catatan catatan yang baik, dengan catatan-catatan sesuai dengan apa yang diminta oleh sang pemberi buku. Dan kitapun sudah tahu bahwa yang memberikan kepada kita buku setebal 365 halaman itu adalah Allah SWT, Sang Maha Pencipta. Kitapun telah paham apa yang harus kita tulis.
Bukan hanya itu, kita juga diberi fasilitas tambahan yakni penghapus. Fasilitas yang kemungkinkan kita untuk menghapus apa saja yang telah kita tulis. Fasilitas bernama Taubat itu memungkinkan kita untuk menghapus segala kesalahan kita dalam melaksanakan apa yang diminta oleh Sang Pencipta.
Namun kalau kita kilas balik apa yang terjadi sebelum kenaikan kelas, murid itu justru memenuhi buku tulis itu dengan penuh coretan yang dilarang oleh guru. Murid tersebut dengan sengaja tidak mau menulis apa yang diperintahkan oleh guru. Dengan congkaknya murid tersebut tidak mau menggunakan fasilitas penghapus yang diberikan kepadanya.
Dan apa jawaban atas semua yang dilakukan sang murid itu ? Sang Guru tetap meluluskannya sehingga murid tersebut tetap naik kelas. Saudaraku.... itulah potret kehidupan kita. Saudaraku... sedikit sekali kebaikan yang kita tulis dan sudah sekian banyak maksiat yang telah kita tulis di buku itu. Saudaraku.... kita juga sadar, jarang sekali kita mau menggunakan fasilitas taubat untuk menghapus coretan kemaksiatan itu.
Dan kini, masa kenaikan kelas telah tiba. Buku baru juga mulai dibagikan. Haruskah kita mengulangi kesalahan dan kecongkakan kita dengan tak mengindahkan perintah Sang Pemberi Buku. Masihkah kita tetap dengan kepongahan kita untuk tak memanfaatkan fasilitas penghapus bernama taubat.
Saudaraku... sebagai seorang pemenang sejati adalah tidak pantas jika kita tidak memiliki keinginan dan tekad untuk memperbaiki apa yang telah kita tulis di tahun lalu. Juga tidak pantas jika kita tidak gelisah dan jua tidak khawatir jika tulisan kita masih tetap seperti tulisan-tulisan kita tahun sebelumnya. Seorang pemenang sejati adalah orang-orang yang merasa gelisah dengan ketidakberdayaan dirinya, merasa gelisah dengan lemahnya iman, merasa gelisah atas dosa yang telah diperbuat. Dan yang membedakannya dengan seorang pemimpi adalah semua kegelisahan itu berusaha diobati dengan melakukan perubahan, melakukan suatu tidakan, dan bukan hanya berdiam diri terbuai mimpi.
Lalu sekarang apa yang masih menggelayuti pikiranmu Saudaraku.... Bukankah buku tulis baru telah ada di tanganmu. Bukankah kau juga telah paham bahwa semua perubahan berawal dari diri kita sendiri. Apalagi Saudaraku.....
Lembaran-lembaran putih buku itu tak sabar menanti tulisan-tulisan kebaikan kita. Lembaran-lembaran putih itu ingin agar kita menuliskan sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Sang Guru.
Penulis: Ibnu Yazid - renungan awal tahun Ibnu Yazid,[prim_mosl@yahoo.com]
sumber : alhikmah.com
LIMA MENIT SAJA
Riya� merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari demam berdarah atau aids sekalipun. Sulit membedakan ibadah jaman sekarang yang tidak bercampur riak
Suatu ketika, di yaumil akhir, berlangsung pengadilan terhadap tiga orang laki-laki. Yang pertama kali diadili adalah orang yang gugur sebagai syahid. Ia kemudian dipanggil oleh Allah. Kepadanya kemudian diperlihatkan amal perbuatannya. Ia pun mengakui perbuatannya ketika berperang membela agama hingga akhirnya gugur sebagai syahid.
Kemudian Allah bertanya: �Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkannya (mati syahid).�
�Aku berperang demi (mendapat) ridha-Mu hingga aku gugur di medan jihad,� jawab lelaki itu.
�Kamu berdusta,� sergah Allah.
�Kamu berperang agar dikatakan pemberani dan sungguh kamu telah mendapatkannya,� sambung Allah lagi.
Kemudian Allah memerintahkan agar orang tersebut diseret dan dilemparkan ke dalam neraka.
Selanjutnya Allah memanggil orang yang kedua, yakni seorang lelaki yang tekun menuntut ilmu dan mengajarkannya. Ia juga rajin membaca al-Qur�an. Seperti yang pertama, ia pun diperlihatkan amal perbuatannya. Setelah ia mengenalinya, Allah bertanya: �Apa yang telah kamu perbuat dengannya (menuntut ilmu)?�
�Saya menuntut ilmu, mengajarkannya kepada yang lain dan membaca al-Qur�an demi Engkau, ya Allah,� jawab lelaki itu.
�Kamu berdusta!� kata Allah berfirman.
�Kamu menuntut ilmu agar dibilang orang pandai dan kamu membaca al-Qur�an agar dikatakan sebagai qori yang bagus (bacaannya), dan sungguh kamu telah memperolehnya,� ungkap Allah.
Kemudian Allah memerintahkan agar orang tersebut diseret dan dilemparkan ke neraka.
Berikutnya Allah mengadili orang yang ketiga yakni seorang lelaki yang dilapangkan dan dikaruniai Allah kekayaan yang melimpah. Kepadanya diperlihatkan amal perbuatannya. Iapun mengenalinya. Lalu Allah bertanya: �Apa yang kamu perbuat terhadap harta bendamu?�
Lelaki itu menjawab: �Saya tak pernah melewatkan kesempatan menafkahkan harta benda di jalan-Mu dan itu saya perbuat demi Engkau, wahai Tuhanku�. Allah berfirman: �Kamu berdusta! Kamu tidak melakukan itu semua kecuali dengan pamrih agar kamu dibilang sebagai dermawan. Dan kamu telah mendapatkan semua yang kamu inginkan."
Selanjutnya Allah memerintahkan agar orang tersebut diseret dan dilemparkan ke neraka.
Niat yang Menentukan
Amal baik belum tentu bernilai baik sebelum diketahui niatnya. Bisa saja manusia memberi gelar pahlawan kepada seseorang yang memiliki keberanian dan tanggung jawab yang besar dalam membela agama dan negaranya, akan tetapi Allah yang Maha Mengetahui yang nampak dan yang tersembunyi. Maka Allah jualah yang akan memberikan penilain-Nya tersendiri. Allah tidak menilai seseorang dari yang zhahirnya saja, tapi juga dari yang tersembunyi yaitu niat atau motivasinya.
Bisa jadi seseorang dihormati karena kedalaman ilmu dan keluasan wawasannya. Tapi di sisi Allah, seorang ulama baru dianggap bernilai bila ia ikhlas dalam mencari ilmu dan tulus ketika mengajarkan dan menyebarluaskannya. Ketika ada motivasi lain, sekecil apapun, pasti terdeteksi oleh ke-Mahatahuan-Nya. Allah berfirman:
Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dan jika kamu menampakkan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatan itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 284)
Demikian pula halnya dengan orang kaya yang dermawan, belum tentu kedermawanannya berkenan di hadapan Allah. Boleh jadi kemurahannya dalam memberi digerakkan oleh niat-niat tertentu yang dapat merusak pahala sadaqahnya. Orang-orang yang menerima sumbangannya tidak mengetahui niat orang tersebut, tapi Allah saw selalui memonitor gerak hati seseorang. Dia menilai tidak sekadar dari lahirnya, tapi lebih penting lagi adalah niatnya. Itulah sebabnya, niat dalam ajaran Islam menempati posisi sentral dan sangat menentukan. Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung kepada niat, dan sesungguhnya tiap tiap orang memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu ialah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrah karena ingin memperoleh keduniaan atau untuk mengawini seorang wanita, maka hijrahnya adalah kea rah yang ditujunya tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sabda Rasulullah di atas dilatarbelakangi oleh pengaduan seseorang yang menyampaikan bahwa di antara orang-orang yang hijrah ke Madinah menyusul hijrahnya Rasulullah saw ada seseorang yang berhijrah karena ingin mengawini seorang wanita yang bernama Ummu Qais. Pada mulanya lelaki itu ingin tetap tinggal di Makkah, akan tetapi karena Ummu Qais yang hendak dinikahinya mengajukan syarat bahwa ia mau dinikahi jika lelaki itu hijrah ke Madinah, maka akhirnya sang lelaki itu terpaksa turut hijrah demi kekasihnya.
Dalam kehidupan sehari-hari ada contoh yang sederhana. Di siang hari yang panas, seorang lelaki masuk ke mesjid. Secara lahiriyah perbuatan itu sangat terpuji. Akan tetapi siapa tahu niat yang tersembunyi dalam hatinya. Bisa jadi ia masuk ke mesjid dengan niat untuk istirahat. Jika niatnya seperti itu, maka ia akan memperoleh yang diniatkannya. Ia terhindar dari sengatan matahari dan terlepas dari rasa penat. Lain halnya jika ia meniatkan untuk i�tikaf. Boleh jadi ia mendapatkan kedua-duanya, yaitu pahala sekaligus istirahat yang cukup.
Dalam kenyataannya, banyak sekali perbuatan manusia yang motivasinya campur aduk antara ikhlas dan riya�. Misalnya, orang yang menunaikan ibadah haji seringkali niatnya tidak semata-mata untuk ibadah, tapi jauh sebelum keberangkatannya mereka sudah membuat rencana untuk membeli perhiasan, makanan, pakaian dan oleh-oleh lainnya untuk disebarkan kepada kerabatnya di tanah air.
Demikian pula halnya dengan orang yang menuntut ilmu, banyak yang niatnya tidak untuk memperoleh ridha Allah, tapi agar kelak dihormati dan disanjung masyarakat sebagai orang yang berilmu. Atau agar kelak mendapat pekerjaan yang baik, pangkat dan jabatan mentereng serta berkuasa di tengah masyarakatnya.
Seseorang yang shalat malam (tahajjud) mungkin saja niatnya murni, semata-mata ingin bertaqarrub dengan Allah swt. Akan tetapi ada pula seseorang yang menjalankan shalat malam karena niat 'daripada tidak bisa tidur' atau karena dia sedang berjaga, daripada bengong.
Secara syar�i, ibadahnya orang yang disebutkan di atas tetap sah dan tidak batal, akan tetapi kurang afdol. Ibadahnya sah, tapi kurang sempurna karena beribadah kepada Allah menuntut adanya kemurnian niat (ikhlas) semata-mata karena Allah. Al-Qur�an menandaskan:
�Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al-Qur�an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): �Kami tidak menyembah mereka kecuali supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.� Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.� (QS. Az-Zumar: 2-3)
Riya� merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari demam berdarah atau aids sekalipun. Itulah sebabnya Rasulullah saw sangat khawatir dengan penyakit ini. Beliau takut ummatnya terjerumus pada penyakit yang beliau sebut sebagai syirik yang tersamar itu. Beliau bersabda:
"Sesungguhnya yang saya takuti menimpa atas kamu ialah syirik kecil (syirkul ashghar). Para sahabat bertanya, 'apakah yang dimaksud dengan syirik kecil itu, ya Rasulallah?' Nabi menjawab: 'Riya�, (yakni) ketika manusia datang untuk meminta balasan atas amal perbuatan yang mereka lakukan. Maka Tuhan berkata kepada mereka : 'Pergilah kamu menemui orang-orang yang karena mereka kamu beramal (riya') di dunia niscaya kamu akan sadar apakah kamu memperoleh balasan kebaikan dari mereka?�.
(Hidayatullah.com )
Suatu ketika, di yaumil akhir, berlangsung pengadilan terhadap tiga orang laki-laki. Yang pertama kali diadili adalah orang yang gugur sebagai syahid. Ia kemudian dipanggil oleh Allah. Kepadanya kemudian diperlihatkan amal perbuatannya. Ia pun mengakui perbuatannya ketika berperang membela agama hingga akhirnya gugur sebagai syahid.
Kemudian Allah bertanya: �Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkannya (mati syahid).�
�Aku berperang demi (mendapat) ridha-Mu hingga aku gugur di medan jihad,� jawab lelaki itu.
�Kamu berdusta,� sergah Allah.
�Kamu berperang agar dikatakan pemberani dan sungguh kamu telah mendapatkannya,� sambung Allah lagi.
Kemudian Allah memerintahkan agar orang tersebut diseret dan dilemparkan ke dalam neraka.
Selanjutnya Allah memanggil orang yang kedua, yakni seorang lelaki yang tekun menuntut ilmu dan mengajarkannya. Ia juga rajin membaca al-Qur�an. Seperti yang pertama, ia pun diperlihatkan amal perbuatannya. Setelah ia mengenalinya, Allah bertanya: �Apa yang telah kamu perbuat dengannya (menuntut ilmu)?�
�Saya menuntut ilmu, mengajarkannya kepada yang lain dan membaca al-Qur�an demi Engkau, ya Allah,� jawab lelaki itu.
�Kamu berdusta!� kata Allah berfirman.
�Kamu menuntut ilmu agar dibilang orang pandai dan kamu membaca al-Qur�an agar dikatakan sebagai qori yang bagus (bacaannya), dan sungguh kamu telah memperolehnya,� ungkap Allah.
Kemudian Allah memerintahkan agar orang tersebut diseret dan dilemparkan ke neraka.
Berikutnya Allah mengadili orang yang ketiga yakni seorang lelaki yang dilapangkan dan dikaruniai Allah kekayaan yang melimpah. Kepadanya diperlihatkan amal perbuatannya. Iapun mengenalinya. Lalu Allah bertanya: �Apa yang kamu perbuat terhadap harta bendamu?�
Lelaki itu menjawab: �Saya tak pernah melewatkan kesempatan menafkahkan harta benda di jalan-Mu dan itu saya perbuat demi Engkau, wahai Tuhanku�. Allah berfirman: �Kamu berdusta! Kamu tidak melakukan itu semua kecuali dengan pamrih agar kamu dibilang sebagai dermawan. Dan kamu telah mendapatkan semua yang kamu inginkan."
Selanjutnya Allah memerintahkan agar orang tersebut diseret dan dilemparkan ke neraka.
Niat yang Menentukan
Amal baik belum tentu bernilai baik sebelum diketahui niatnya. Bisa saja manusia memberi gelar pahlawan kepada seseorang yang memiliki keberanian dan tanggung jawab yang besar dalam membela agama dan negaranya, akan tetapi Allah yang Maha Mengetahui yang nampak dan yang tersembunyi. Maka Allah jualah yang akan memberikan penilain-Nya tersendiri. Allah tidak menilai seseorang dari yang zhahirnya saja, tapi juga dari yang tersembunyi yaitu niat atau motivasinya.
Bisa jadi seseorang dihormati karena kedalaman ilmu dan keluasan wawasannya. Tapi di sisi Allah, seorang ulama baru dianggap bernilai bila ia ikhlas dalam mencari ilmu dan tulus ketika mengajarkan dan menyebarluaskannya. Ketika ada motivasi lain, sekecil apapun, pasti terdeteksi oleh ke-Mahatahuan-Nya. Allah berfirman:
Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dan jika kamu menampakkan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatan itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 284)
Demikian pula halnya dengan orang kaya yang dermawan, belum tentu kedermawanannya berkenan di hadapan Allah. Boleh jadi kemurahannya dalam memberi digerakkan oleh niat-niat tertentu yang dapat merusak pahala sadaqahnya. Orang-orang yang menerima sumbangannya tidak mengetahui niat orang tersebut, tapi Allah saw selalui memonitor gerak hati seseorang. Dia menilai tidak sekadar dari lahirnya, tapi lebih penting lagi adalah niatnya. Itulah sebabnya, niat dalam ajaran Islam menempati posisi sentral dan sangat menentukan. Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung kepada niat, dan sesungguhnya tiap tiap orang memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu ialah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrah karena ingin memperoleh keduniaan atau untuk mengawini seorang wanita, maka hijrahnya adalah kea rah yang ditujunya tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sabda Rasulullah di atas dilatarbelakangi oleh pengaduan seseorang yang menyampaikan bahwa di antara orang-orang yang hijrah ke Madinah menyusul hijrahnya Rasulullah saw ada seseorang yang berhijrah karena ingin mengawini seorang wanita yang bernama Ummu Qais. Pada mulanya lelaki itu ingin tetap tinggal di Makkah, akan tetapi karena Ummu Qais yang hendak dinikahinya mengajukan syarat bahwa ia mau dinikahi jika lelaki itu hijrah ke Madinah, maka akhirnya sang lelaki itu terpaksa turut hijrah demi kekasihnya.
Dalam kehidupan sehari-hari ada contoh yang sederhana. Di siang hari yang panas, seorang lelaki masuk ke mesjid. Secara lahiriyah perbuatan itu sangat terpuji. Akan tetapi siapa tahu niat yang tersembunyi dalam hatinya. Bisa jadi ia masuk ke mesjid dengan niat untuk istirahat. Jika niatnya seperti itu, maka ia akan memperoleh yang diniatkannya. Ia terhindar dari sengatan matahari dan terlepas dari rasa penat. Lain halnya jika ia meniatkan untuk i�tikaf. Boleh jadi ia mendapatkan kedua-duanya, yaitu pahala sekaligus istirahat yang cukup.
Dalam kenyataannya, banyak sekali perbuatan manusia yang motivasinya campur aduk antara ikhlas dan riya�. Misalnya, orang yang menunaikan ibadah haji seringkali niatnya tidak semata-mata untuk ibadah, tapi jauh sebelum keberangkatannya mereka sudah membuat rencana untuk membeli perhiasan, makanan, pakaian dan oleh-oleh lainnya untuk disebarkan kepada kerabatnya di tanah air.
Demikian pula halnya dengan orang yang menuntut ilmu, banyak yang niatnya tidak untuk memperoleh ridha Allah, tapi agar kelak dihormati dan disanjung masyarakat sebagai orang yang berilmu. Atau agar kelak mendapat pekerjaan yang baik, pangkat dan jabatan mentereng serta berkuasa di tengah masyarakatnya.
Seseorang yang shalat malam (tahajjud) mungkin saja niatnya murni, semata-mata ingin bertaqarrub dengan Allah swt. Akan tetapi ada pula seseorang yang menjalankan shalat malam karena niat 'daripada tidak bisa tidur' atau karena dia sedang berjaga, daripada bengong.
Secara syar�i, ibadahnya orang yang disebutkan di atas tetap sah dan tidak batal, akan tetapi kurang afdol. Ibadahnya sah, tapi kurang sempurna karena beribadah kepada Allah menuntut adanya kemurnian niat (ikhlas) semata-mata karena Allah. Al-Qur�an menandaskan:
�Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al-Qur�an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): �Kami tidak menyembah mereka kecuali supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.� Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.� (QS. Az-Zumar: 2-3)
Riya� merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari demam berdarah atau aids sekalipun. Itulah sebabnya Rasulullah saw sangat khawatir dengan penyakit ini. Beliau takut ummatnya terjerumus pada penyakit yang beliau sebut sebagai syirik yang tersamar itu. Beliau bersabda:
"Sesungguhnya yang saya takuti menimpa atas kamu ialah syirik kecil (syirkul ashghar). Para sahabat bertanya, 'apakah yang dimaksud dengan syirik kecil itu, ya Rasulallah?' Nabi menjawab: 'Riya�, (yakni) ketika manusia datang untuk meminta balasan atas amal perbuatan yang mereka lakukan. Maka Tuhan berkata kepada mereka : 'Pergilah kamu menemui orang-orang yang karena mereka kamu beramal (riya') di dunia niscaya kamu akan sadar apakah kamu memperoleh balasan kebaikan dari mereka?�.
(Hidayatullah.com )
LIMA MENIT SAJA
Menjamurnya bank syari’ah atau perbankan Islam akhir-akhir ini adalah sebagai konsekwensi logis dari penolakan sebagian kaum muslimin atas riba bank konvensional yang dianggap ribawi. Perbankan Islam telah menjadi istilah yang cukup dikenal baik di negara Islam maupun di negara Barat (sekuler).Lembaga tersebut juga menjadi alternatif bagi para Muslim untuk bertransaksi karena dianggap sebagai suatu bentuk perbankan dan pembiayaan yang berusaha menyediakan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya.
Para pendukung perbankan Islam berpendapat bahwa bunga adalah riba dan haram hukumnya. Sosialisasi di berbagai media membentuk opini masyarakat Muslim dengan mengatakan bahwa bank syari’ahlah yang syar’i sementara bank konvensional adalah bank yang ribawi.Padahal opini yang disosialisasikan oleh media tersebut tidak bisa dianggap mewakili ulama’ atau cendikiawan dan masyarakat muslim yang mengatakan bahwa bunga bank konvensional bukanlah riba. Maka, jika bank konvensional dianggap ribawi, pertanyaan selanjutnya adalah sudah syar’ikah bank syari’ah?
Abdullah Saeed dalam buku ini-dengan tidak bermaksud untuk membunuh eksistensi bank syari’ah-mencoba menawarkan suatu interpretasi kontekstual atas riba yang diawali dengan upaya pembuktian dan kritik atas klaim-klaim kesyar’ian bank Islam dengan melakukan penelitian pada bank Islam di sejumlah negara Muslim. Saeed memulai penelitiannya dengan melakukan kritik atas interpretasi tradisional tentang riba yang dihadirkan oleh kaum Neo-Revivalis. Interpretasi tradisional tersebut menyimpulkan bahwa bunga yang dipraktekkan oleh bank konvensional adalah nama lain dari riba yang diharamkan oleh al-Qur’an.Sehingga bunga dan praktek perbankan konvensionalpun sama haramnya dengan ribayang harus dihindari oleh umat Islam. Sebagai gantinya, umat Islam harusmemilih bank dan lembaga keuangan yang bebas bunga untuk berkontrak.Kaum Neo-Revivalis mengatakan bahwa sesuatu yang dapat dikatakan sebagai bunga adalah berdasar pada bentuk legal riba seperti yang dinyatakan dalam fiqih. Riba dimaknai secara literal tanpa memperhatikan aspek sosio-historisdiharamkannya riba.
Menurut pandangan ini, karena al-Qur’an telaah menyatakan bahwa hanya pokok pinjaman yang harus diambil oleh kreditur, maka tidak ada pilihan lain selain menafsirkan riba secara literal. Oleh karena itu, kedzalimaan bukanlah ukuran untuk menentukan sesuatu dianggap riba atau bukan dalam transaksi utang-piutang. Apapun alasannya, pemberi pinjaman tidak berhak menerima tambahan melebihi dan di atas pokok pinjaman.
Diilhami dari hal inilah kaum Muslimin mendirikan bank Islam dengan melahirkan produk-produk jasa pengganti bunga, diantaranya mudlarabah dan musyarakah, dua produk jasa ini adalah suatu sistem bagi hasil, atau yang dikenal dengan profit and loss sharing (PLS). Dengan dua produk ini, bank syari’ah tidak beroperasi dengan bunga melainkan berbagi hasil bersama nasabah, baik bagi untung maupun rugi.
Akan tetapi, relitasnya bank Islam mengalami kesulitan untuk menerapkan sistem PLS tersebut karena resiko yang dipikul oleh bank cukup tinggi. Sehingga bank berusaha merevisi bentuk dan isi mudlarabah dan musyarakah yang pada akhirnya berbeda dengan teori fiqih.Fenomena ini pada ahirnya mendorong bank-bank Islam intuk mencari suatu alternatif pengganti yaitu murabahah.
Kaum Neo-Revivalis berpandangan bahwa al-Qur’an mengizinkan jual beli dengan sistem laba dan hal tersebut dianggap sebagai murabahah. Karena tidak ada pembatasan legal jumlah laba yang boleh diambil seseorang dari suatu penjualan, maka bank-bank Islam secara teoritis bebas menentukan berapapun mark-up suatu kontrak murabahah.
Bank-bank Islam cenderung menafsirkan riba sebagai sesuatu yang umumnya terjadi dalam konteks transaksi finansial, yaitu kewajiban-kewajiban kontraktual untuk membayar tambahan oleh peminjam dalam utang-piutang. Mereka berargumen bahwa setiap tambahan karena tenggang waktu yang diberikan untuk membayar utang bukanlah riba. Padahal teknik mark-up dan batas laba dalam perdagangan dan sewa adalah nama lain bunga (hal.143)
Pembiayaan murabahah yang harga kreditnya lebih tinggi jelas menunjukkan bahwa ada nilai waktu dalam pembiayaan yang mendorong secara tidak langsung pada penilaian waktu pada uang. Hal ini secara logika menggiring pada kehalalanbunga..
Fenomena tersebut mendorong kaum modernis untuk berijtihad dan melakukan reinterpretasi kontekstual atas riba sesuai dengan prinsip moral syari’ah seperti kejujuran, keadilan dan kesetaraan. Dari perspektif ini, ketidakadilanlah yang akhirnya menentukan suatu tambahan dikatakan riba atau tidak. Suatu tambahan dalam transaksi keuangan yang diberikan kepada kreditur hanya semata-mata tambahan bukanlah riba. Apabila hal ini diterapkan dalam bunga bank modern, maka tidak semua jenis bunga adalah riba kecuali hanya jenis bunga yang mengandung ketidakadilan pada salah satu pihak yang melakukankontrak.
Oleh karena itu, setiap transaksi berdasarkan bunga yang mengandungketidakadilan harus diharamkan sebagai riba. Sama halnya dengan suatu transaksi yang meskipun tidak secara eksplisit mengandung elemen bunga tetaapi mengarahpada ketidakadilan salah satu pihak dapat dianggap sebagai transaksi ribawi.
Termasuk dalam hal ini adalah keadaan suatu transaksi tertentu, pihak-pihak yang terlibat, kekuatan relatif satu pihak atas pihak yang lain maupun lingkungan ekonomi dan sosial terjadinya transaksi tersebut. Semua itu menentukan apakah sebuah transaksi tertentu harus diharamkan sebagai riba.Praktek bank-bank Islam menunjukkan bahwa mereka tidak mampu menghapus bunga dari transaksi mereka yang akhirnya dipraktekkan dengan berbagai nama dan samaran. Para ekonom Islam belum berhasil mengembangkan sutu pembiayaan yang bebas bunga yang cukup praktis bagi landasan perbankan modern.
Oleh karena itu, kaum modernis mencoba melakukan reinterpretasi kontekstual yang tidak legalistik dan formalistik atas riba dengan memperhatikan aspek sosio-historis diharamkannya riba. Interpretasi ini mengatakan bahwa sebab diharamkannya riba adalah adanya kedzaliman dan tindakan tidak manusiawi. Jika sebab tersebut tidak ada dalam praktek bank konvensional, maka hal tersebut bukan termasuk bunga yang diharamkan al-Qur’an (hal.61)
Akhirnya, dalam perbankan, memiliki label Islam saja tidak cukup untuk menjadi suatu bank Islam. Akan tetapi, lembaga perbankan tersebut harus menjadi lembaga yang manusiawi, mampu membuat oraang memiliki akses pada dana berdasarkan syarat yang manusiawi dan dengan biaya yang pantas. Perbankan seperti inilah yang diperlukan untuk membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Penulis: Hermin Sriwulan
Penulis adalah Mahasiswa FAI Unmuh Malang, Peneliti pada eL-SAS (Lembaga Studi Agama dan Sosial) Malang dan Kabid IPTEK IMM Cabang Malang [iwul@myquran.com ]
aumber : alhikmah.com
LIMA MENIT SAJA
Drs. H. Ahmad Yani
Syaitan merupakan salah satu dari makhluk Allah Swt yang pada dasarnya dicipta untuk mengabdi kepada Allah Swt sebagaimana manusia dicipta juga untuk beribadah kepada-Nya. Hal ini karena syaitan berasal dari golongan jin yang sama-sama dicipta untuk mengabdi kepada Allah Swt sebagaimana firman-Nya: “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia kecuali supaya mengabdi kepadaku” (QS 51:56).
Adapun syaitan atau iblis berasal dari golongan jin disebutkan dalam firman Allah: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “seujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis, dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu?. Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim (QS 18:50 ).
Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt mengemukakan sikap-sikap yang ditunjukkan oleh manusia terhadap syaitan dan menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya kita bersikap kepadanya agar dapat mewujudkan kehidupan yang baik di dunia ini sehingga membawa kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
1. SEBAGAI SAUDARA
Dalam bersikap kepada syaitan, ada manusia yang menjadikannya seperti saudara sehingga ia memiliki sifat-sifat yang sama sebagaimana yang dimiliki oleh syaitan, satu diantaranya adalah melakukan apa yang disebut dengan tabdzir dalam penggunaan harta, yakni menggunakan atau membelanjakan harta untuk sesuatu yang tidak dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, baik sedikit apalagi banyak. Dalam bahasa kita hal ini diistilahkan dengan pemborosan, karena mengandung kesia-siaan. Orang yang melakukan hal ini disebut dengan mubadzdzir. Harta yang kita miliki, sebanyak apapun dia sangat banyak yang membutuhkannya baik untuk keluarga sendiri yang memang sangat berhak maupun orang lain seperti orang miskin dan orang yang dalam perjalanan yang memerlukan pertolongan, Allah Swt berfirman: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya (QS 17:26-27).
2. SEBAGAI PEMIMPIN DAN PELINDUNG
Dalam kehidupan ini, manusia membutuhkan pemimpin, namun manusia tidak boleh sembarangan memilih pemimpin, karena hal itu bisa mengakibatkan persoalan yang sangat pelik. Namun yang amat disayangkan adalah ada manusia yang menjadikan syaitan atau orang-orang yang berwatak syaitan sebagai pemimpin sehingga kepemimpinan itu membawa akibat negatif yang sangat besar, Allah Swt berfirman: Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orangn yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya menjadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah (QS 16:100).
Kata sulthan (kekuasaan) dalam ayat di atas berasal dari kata As Salith yang maksudnya adalah minyak yang digunakan untuk menyalahan lampu/pelita yang menggunakan sumbu. Ini berarti sulthan adalah keterangan atau bukti yang menjelaskan sesuatu dengan terang dan mampu meyakinkan pihak lain, baik benar maupun salah. Syaitan memang memiliki kemampuan untuk memperdaya manusia, namun yang bisa diperdaya oleh syaitan hanyalah orang-orang yang lemah imannya, yang menjadikannya sebagai pemimpin, sama seperti virus sebuah penyakit yang hanya akan menimpa orang-orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh yang kuat.
Penggunaan kata wali (pelindung) terhadap syaitan juga disebutkan dalam firman Allah Swt yang artinya: Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman) . Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya (QS 2:257).
Ini berarti ada manusia yang menjadikan syaitan sebagai pemimpin dan pelindung. Kata wali bermaksud sesuatu yang langsung datang atau berada sesudah sesuatu yang lain, tidak ada perantara diantara keduanya. Ketika Allah Swt atau syaitan yang dijadikan sebagai wali oleh manusia, itu artinya manusia memiliki hubungan yang sangat dekat sehingga langsung ditolong, dibantu dan dilindungi. Ketika Allah Swt yang dijadikan sebagai wali (pemimpin dan pelindung), maka Allah Swt akan mengeluarkan manusia dari kegelapan dan kesesatan kepada cahaya yang , yakni petunjuk hidup yang benar, namun ketika manusia menjadikan syaitan sebagai wali, maka syaitan akan mengeluarkan manusia dari jalan hidup yang benar (cahaya) kepada kegelapan atau kesesatan yang banyak.
3. SEBAGAI KAWAN
Dalam kehidupan ini, manusia tidak bisa hidup sendirian, ia membutuhkan kawan ang dapat menghibur dikala duka, yang dapat membantu dikala susah dan menemaninya dikala sepi, bahkan memecahkan persoalan saat menghadapi masalah. Karena itu, manusia seharusnya menjadikan orang-orang yang baik dan shaleh sebagai kawan, karenanya Allah Swt berpesan kepada setiap mu’min untuk selalu berkawan kepada orang-orang yang shiddik (benar), Allah berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (QS 9:119).
Karena itu amat disayangkan bila manusia menjadikan syaitan atau orang-orang yang berwatak syaitan sebagai kawan dekatnya, akibatnya merebaklah berbagai kejahatan yang disebarluaskan oleh syaitan, karena syaitan dan pengikut-pengikutnya hanya akan membuat manusia menempuh jalan hidup yang sesat hingga berujung ke neraka, Allah Swt berfirman: Diantara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang sangat jahat, yang telah ditetapkan terhadap syaitan itu, bahwa barangsiapa yang berkawan dengan dia, tentu dia akan menyesatkannya dan membawanya ke azab neraka (QS 22:4)
4. SEBAGAI MUSUH
Sikap terbaik yang harus ditunjukkan oleh manusia terhadap syaitan adalah menganggap dan menjadikannya sebagai musuh yang harus diperangi dan diwaspadai setiap saat. Syaitan harus diperlakukan sebagai musuh karena sepak terjangnya dalam kehidupan kita menjadi kendala besar bagi kita untuk bisa menjadi muslim yang sejati, Allah Swt berfirman: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu (QS 2:208)
Di samping itu, seruan Allah Swt untuk memperlakukan syaitan sebagai musuh tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman, tapi juga kepada seluruh umat manusia, karena ada kebutuhan-kebutuhan manusia yang harus dipenuhinya dan ia tidak boleh menghalalkan segala cara dalam upaya mencapainya, Hal ini karena, meskipun manusia tidak beriman kepada Allah Swt atau tidak menjadi muslim, dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, tetap saja mereka yang tidak beriman kepada Allah-pun tidak membenarkan upaya yang menghalalkan segala cara, Allah Swt berfirman: Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu (QS 2:168).
Keharusan manusia menjadikan syaitan sebagai musuh juga karena dalam kehidupan bersama, manusia sangat mendambakan kedamaian hidup, sedangkan syaitan selalu menanamkan perselisihan, permusuhan ke dalam jiwa manusia hingga akhirnya terjadi peperangan; tidak hanya dengan kata-kata tapi juga perang secara fisik dengan korban harta dan jiwa yang sedemikian banyak serta membawa dampak kejiwaan yang negatif, dan ini sebenarnya tidak dikehendaki oleh manusia, Allah Swt berfirman: Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan diantara mereka. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi manusia (QS 17:53).
Manakala kita siap menjadikan syaitan sebagai musuh, maka setiap kita harus waspada 24 jam setiap harinya, memiliki kesiapan untuk “berperang” dengannya dalam arti tidak ada kompromi dengan syaitan, memiliki daya tahan yang kuat untuk menghalau godaan syaitan dan memohon perlindungan kepada Allah Swt dari gangguan-gangguan syaitan, bila ini yang kita lakukan, maka kita bisa menjadi orang yang bertaqwa dengan sebenar-benarnya taqwa
sumber : alhikmah.com
LIMA MENIT SAJA
Drs. H. Ahmad Yani
Dalam kehidupan bersama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat maupun bangsa, musyawarah merupakan sesuatu yang harus dilakukan. Hal ini karena dalam kehidupan berjamaah, ada banyak kepentingan, kebutuhan maupun persoalan yang harus dihadapi dan diatasi secara bersama-sama agar bisa terjalin kerjasama yang baik. Dalam proses musyawarah itulah, harus berlangsung apa yang disebut dengan dialog.
Secara harfiyah, syura bermakna menjelaskan, menyatakan, mengajukan dan mengamnbil sesuatu. Syura adalah menyimpulkan pendapat berdasarkan pandangan antar kelompok. Kata syura sudah menjadi bahasa Indonesia yang kemudian dikenal dengan istilah musyawarah. Dalam bahasa Indonesia, musyawarah adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama.
Landasan Hukum Syura
Di dalam Al-Qur’an, terdapat tiga ayat yang menjelaskan tentang syura. Dari ayat-ayat ini, dapat kita simpulkan bahwa musyawarah harus kita lakukan dalam tiga aspek. Pertama, musyawarah terhadap persoalan keluarga, hal ini karena dalam kehidupan keluarga, khususnya antara suami dengan isteri, terdapat hal-hal yang harus disepakati dan diatasi sehingga kehidupan rumah tangga bisa berjalan dengan baik. Allah Swt berfirman yang artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bartaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (2:233).
Dari ayat di atas, dapat diambil sebuah pelajaran bahwa dalam kehidupan keluarga, persoalan yang tidak terlalu besar saja seperti menyusui harus disepakati melalui proses musyawarah, apalagi persoalan yang lebih besar dan lebih prinsip dari itu.
Kedua, musyawarah terhadap persoaan-persoalan masyarakat sehingga dengan musyawarah itu masyarakat tidak bisa mengelak dari keharusan berlaku patuh kepada ketentuan yang berlaku, Allah Swt berfirman yang artinya. Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka (QS 42:38).
Ketiga, musyawarah terhadap persoalan politik, perjuangan, dakwah dan kenegaraan. Karena itu, ketika Rasulullah Saw memimpin pasukan perang beliau harus bermusyawarah dengan para sahabat yang menjadi pasukannya, namun pada saat hasil keputusan musyawarah tidak dipatuhi, maka hal itu tidak boleh membuat seorang pemimpin menjadi emosional, Allah Swt berfirman yang artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahkan dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (QS 3:159)
Urgensi Syura Dalam Islam
Dalam pandangan Islam., syura memiliki kedudukan yang sangat penting. Nilai Penting dari syura antara lain: Pertama, salah satu prinsip penting dalam ajaran Islam yang sangat ditekanlah Allah Swt, karena hal ini merupakan bagian yang sangat penting dari ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah merupakan salah satu bukti dari iman.
Kedua, prinsip jalan tengah dari segala perbedaan pendapat, yakni prinsip keseimbangan antara kehendak individu dengan kehendak bersama, hal ini bisa kita pahami dalam kaitan kedudukan umat Islam sebagai umat yang pertengahan, Allah Swt berfirman yang artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu (QS 2:143).
Kaidah-Kaidah Syura
Di dalam surat Ali Imrah: 159 di atas, terdapat kaidah syura yang harus kita penuhi ketika kita melakukan musyawarah. Pertama, berlaku lemah lembut, baik dalam sikap, ucapan maupun perbuatan, bukan dengan sikap dan kata-kata yang kasar, karena hal itu hanya akan menyebabkan mereka meninggalkan majelis syura.
Kedua, memberi maaf atas hal-hal buruk yang dilakukan sebelumnya atau orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental pemaaf terhadap orang lain karena bisa jadi dalam proses musyawarah itu akan terjadi hal-hal kurang menyenangkan atas sikap, perkataan atau tindak-tanduk orang lain terhadap diri kita. Manakala sikap pemaaf ini tidak kita miliki dalam bermusyawarah, hal itu akan berkembang menjadi pertengkaran secara emosional dan berujung pada perpecahan yang melemahnya kekuatan jamaah atau organisasi.
Ketiga, berorientasi pada kebenaran, karena sesudah musyawarah dilaksanakan, keputusan-keputusan yang telah diambil harus dijalankan dan semua itu dalam rangka menunjukkan ketaqwaan kepada Allah Swt. Manakala musyawarah berorientasi pada ketaqwaan dan kebenaran, maka tidak ada pembicaraan yang dikemukakan sekedar untuk meraih kemenangan dalam perdebatan, tapi untuk menjalankan nilai-nilai kebenaran.
Keempat, memohon ampun bila melakukan kesalahan sehingga dalam musyawarah bila seseorang mengemukakan pendapatnya yang disadari sebagai sesuatu yang salah ia akan mencabut pendapatnya itu meskipun telah disetujui oleh majelis syura.
Kelima, bertawakkal kepada Allah Swt setelah musyawarah selesai, bukan malah saling salah menyalahkan ketika ada hal-hal yang tidak menyenangkan menimpa jamaah atau organisasi.
Kajian Syura Dalam Sirah.
Dalam sirah Nabawiyah (sejarah Nabi), kita dapati bagaimana Rasulullah Saw bermusyawarah dengan para sahabatnya. Ketika hendak berhijrah ke Madinah, beliau kumpulkan sahabat-sahabat utama untuk bermusyawarah guna membicarakan strategi penting perjalanan hijrah. Hasilnya adalah pembagian tugas dari masing-masing sahabat, misalnya Ali bertugas tidur di tempat tidur Nabi saw untuk mengelabui orang-orang kafir yang mengepung rumah Nabi. Sementara Abu Bakar ditugaskan untuk mengatur perjalanan dan persembunyian Nabi di Gua Tsur selama tiga hari, termasuk mempersiapkan logistik dan sumber informasi. Adapun Umar bin Khattab mendapat tugas mengalihkan opini orang-orang kafir seolah-olah Nabi telah berangkat ke Madinah, begitulah seterusnya strategi hijrah dimusyawarahkan oleh Nabi dengan para sahabatnya sehingga perjalanan hijrah ke Madinah bisa berjalan dengan baik.
Di samping itu, pada saat hendak berperang, beliau juga bermusyawarah dalam mengatur strategi perang sehingga para sahabat bisa menyampaikan usul dan saran, bahkan bila usul dan saran itu memang bagus, hal itu bisa menjadi keputusan yang disepakati, itulah yang terjadi pada perang khandak atau perang ahzab. Perang ini menggunakan parit sebagai strateginya atas usulan Salman Al Farisi, maka digalilah parit sedalam kaki kuda dan selebar lompatannya.
Hikmah Syura
Manakala syura telah dilaksanakan dengan baik, ada banyak hikmah yang akan diperoleh bagi kaum muslimin dalam kehidupan berjamaah. Sekurang-kurangnya, ada lima hikmah yang akan kita peroleh. Pertama, keputusan yang akan diambil akan lebih sempurna dibanding tanpa musyawarah. Kedua, masing-masing orang merasa terikat terhadap keputusan musyawarah sehingga ada rasa memiliki terhadap isi keputusan musyawarah tersebut dan dapat mempertanggungjawabkannya secara bersama-sama. Ketiga, memperkokoh hubungan persaudaraan dengan sesama muslim pada umumnya dan anggota dalam jamaah pada khususnya yang harus saling kuat menguatkan. Dengan demikian, dapat dihindari terjadinya perpecahan yang diakibatkan tidak dipertemukannya perbedaan pendapat. Keempat, dapat dihindari terjadinya dominasi mayoritas dan tirani minoritas, karena dalam musyawarah, hakikat pengambilan keputusan terletak pada kebenaran, bukan semata-mata pertimbangan banyaknya jumlah yang berpendapat atau berpihak pada suatu persoalan. Kelima, dapat dihindari adanya hasutan, fitnah dan adu domba yang dapat memecah belah barisan perjuangan kaum muslimin, karena musyawarah dapat memperjelas semua persoalan yang dihadapi.
Dari uraian di atas, menjadi jelas bagi kita betapa dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan bangsa sangat penting untuk dilakukan musyawarah dan masalah-masalah yang berkembang harus didialogkan sehingga dari dialog bisa dijadikan sebagai pembahasan yang bisa dimusyawarahkan. wallohu a'lam.
sumber : alhikmah.com